Halaman

Minggu, 05 Juni 2011

Masalah Anak Jalanan Melalui Pemberdayaan Keluarga Berbasis Kecakapan Hidup di Kota Surakarta

Pemecahan Masalah Anak Jalanan Melalui Pemberdayaan Keluarga Berbasis Kecakapan Hidup di Kota Surakarta
LATAR BELAKANG MASALAH
Merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang komplek. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas, dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum begitu besar dan solutif. Menurut UUD 1945 pasal 34 disebutkan bahwa “anak terlantar itu dipelihara oleh negara”. Artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,  dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of the Child (Konvensi tentang hak-hak Anak).  Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu :
1.    Hak sipil dan kemerdekaan (civil right and freedoms)
2.    Lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family envionment and alternative care)
3.    Kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare)
4.    Pendidikan, rekreasi dan budaya (education, laisure and culture activites)
5.    Perlindungan khusus (special protection).
Melihat fenomena yang ada dalam suatu masyarakat, khususnya di kota Surakarta menunjukkan bahwa dengan adanya jumlah anak jalanan yang terbilang banyak, maka dapat dikatakan kualitas hidup dan masa depan anak-anak sangat memprihatinkan, padahal mereka adalah aset, investasi SDM dan sekaligus tumpuan masa depan bangsa.  Jika kondisi dan kualitas hidup anak kita memprihatinkan, berarti masa depan bangsa dan Negara Indonesia tidak akan lebih baik dari sekarang.
Begitu juga dengan keadaan anak-anak jalanan di Surakarta, memperlihatkan betapa sangat memprihatinkan kondisi mereka. Keadaan anak jalanan tersebut perlu mendapatkan perhatian yang sangat serius dari pemerintah maupun masyarakat. Permasalahan mereka bukan hanya kemiskinan, tetapi juga pendidikan yang kurang dan kesejahteraan yang tidak merata di kota Surakarta ini. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan, sebagian dari anak-anak mengalami lost generation (generasi yang hilang).
Dengan adanya fenomena di atas menunjukkan bahwa ada faktor-faktor, yang mempengaruhi ketidakberhasilan pembangunan, salah satu faktor ketidakberhasilan pembangunan dalam berbagai bidang itu, antara lain disebabkan oleh minimnya perhatian pemerintah dan semua pihak terhadap eksistensi keluarga.  Perhatian dan treatment yang terfokus pada “keluarga sebagai basis dan sistem pemberdayaan” yang menjadi pilar utama kehidupan, relatif belum menjadi komitmen bersama dan usaha yang serius dari banyak pihak.  Padahal, masyarakat dan negara yang sehat, kuat, cerdas, dan berkualitas dipastikan karena tumbuh dan berkembang dari dan dalam lingkungan keluarga yang sehat, kuat, cerdas dan berkualitas.  Dengan demikian, masalah anak termasuk anak jalanan perlu adanya penanganan yang berbasis keluarga, karena keluarga adalah penanggung jawab pertama dan utama masa depan anak-anak mereka.
Pembinaan dan pemberdayaan pada lingkungan keluarga tempat mereka tinggal tampaknya belum banyak dilakukan, sehingga penanganannya selama ini cenderung tidak efektif.  Sementara itu, keluarga merupakan “pusat pendidikan, pembinaan dan pemberdayaan pertama” yang memungkinkan anak-anak itu tumbuh dan berkembang dengan baik, sehat dan cerdas.  Pemberdayaan keluarga dari anak jalanan, terutama dari segi ekonomi, pendidikan dan agamanya, diasumsikan merupakan basis utama dan model yang efektif untuk penanganan dan pemberdayaan anak jalanan. Persebaran anak jalanan di Surakarta juga cukup merata. Selama ini, penanganan anak jalanan melalui panti-panti asuhan dan rumah singgah dinilai tidak efektif.  Hal ini antara lain terlihat dari “pola asuh” yang cenderung konsumtif, tidak produktif karena yang ditangani adalah anak-anak, sementara keluarga mereka tidak diberdayakan.
Oleh karena itu untuk menunjang pola asuh yang produktif, maka selain anak-anak jalanan, keluarga mereka juga harus mempunyai kecakapan hidup yang dapat menunjang kehidupan mereka ke arah yang lebih baik. Kecakapan hidup ini dapat diperoleh melalui Pendidikan. Akan tetapi sebagian besar anak-anak jalanan di Surakarta tidak bersekolah. Oleh karena itu pemerintah harus bisa menjamin pendidikan gratis untuk anak-anak yang putus sekolah agar setiap anak dapat memperoleh pendidikan yang layak untuk masa depan mereka. Selain itu dengan mengadakan penyuluhan tentang kecakapan hidup di lingkungan anak jalanan dan keluarganya adalah cara yang efektif untuk memberikan bekal untuk mengembangkan potensi dan kekuatan sendiri.
PERUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakang diatas maka dapat diambil perumusan masalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana karakteristik anak jalanan di kota Surakarta?
2.    Bagaimana pemberdayaan keluarga yang berbasis kecakapan hidup dalam pemecahan masalah anak jalanan di Kota Surakarta?
TUJUAN
Kegiatan Program Kreatifitas  Mahasiswa (PKM) bidang Penelitian ini bertujuan untuk:
1.    Untuk mengetahui karakteristik anak jalanan di kota Surakarta.
2.    Untuk mempelajari faktor-faktor yang melatarbelakangi meningkatnya anak jalanan di kota Surakarta.
3.    Untuk mengetahui peran keluarga dalam mengatasi masalah  anak jalanan.
4.    Mengetahui perkembangan dan pertumbuhan anak-anak jalanan.
5.    Memberikan masukan kepada semua pihak agar dapat berperan dalam memecahkan permasalahan anak jalanan di kota Surakarta melalui pemberdayaan keluarga berbasis kecakapan hidup untuk memberikan bekal dan mengembangkan potensi yang ada.
6.    Dapat membantu mengurangi anak - anak jalanan di kota Surakarta.
LUARAN YANG DIHARAPKAN
Luaran yang diharapkan dari program ini adalah sebagai sarana untuk memberdayakan anak jalanan beserta keluarganya agar dapat mengoptimalisasi kecakapan hidup yang dimilikinya. Permasalahan yang terjadi dalam dunia anak jalanan di Kota Surakarta dapat dipecahkan salah satunya melalui pemberdayaan keluarga berbasis kecakapan hidup untuk memberikan bekal dan mengembangkan potensi yang ada. Selain hal tersebut masih banyak lagi cara yang dapat dilakukan untuk memecahkan berbagai permasalahan mengenai anak jalanan.
KEGUNAAN
Adapun manfaat dari kegiatan ini adalah :
1.    Memberikan gambaran mengenai masalah-masalah sosial dalam masyarakat terutama masalah anak jalanan.
2.    Memberikan masukan kepada Pemerintah Kota Surakarta untuk membuat Peraturan Daerah terutama mengenai perlindungan terhadap anak.
3.    Mengarahkan kepada orang tua agar lebih memperhatikan anak-anaknya terutama masa depan mereka sebagi generasi penerus bangsa.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Anak Jalanan
Pengertian anak jalanan telah dikemukakan oleh para ahli. Salah satunya oleh Utoyo (dalam Munawir Yusuf dan Gunarhadi, 2003: 7) menyebutkan bahwa anak jalanan adalah “anak yang waktunya sebagian besar dihabiskan di jalan, mencari uang dan berkeliaran di jalan dan di tempat-tempat umum lainnya yang usianya 7 sampai 15 tahun”. Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Soedijar (dalam Dwi Hastutik, 2005: 15) bahwa “anak jalanan adalah anak-anak berusia 7-15 tahun, bekerja di jalanan dan tempat umum lainnya yang dapat membahayakan keselamatan dirinya”. Sedangkan Sugeng Rahayu (dalam Dwi Astutik, 2005: 15) berpendapat lain bahwa “anak jalanan adalah anak-anak yang berusia di bawah 21 tahun yang berada di jalanan untuk mencari nafkah dengan berbagai cara (tidak termasuk pengemis, gelandangan, bekerja di toko/kios).
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan anak jalanan adalah anak yang melewatkan atau memanfaatkan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari di jalanan. Selain itu juga ada yang masih bersekolah dan ada yang tidak bersekolah serta ada yang masih berhubungan dengan keluarga dan ada yang sudah lepas dari keluarga.
2. Karakteristik Anak Jalanan
Menurut Departemen Sosial (dalam Dwi Astutik, 2005: 21-22), “karakteristik anak jalanan meliputi ciri-ciri fisik dan psikis”. Ciri-ciri fisik antara lain: warna kulit kusam, rambut kemerah-merahan, kebanyakan berbadan kurus, dan pakaian tidak terurus. Sedangkan ciri-ciri psikis antara lain: mobilitas tinggi, acuh tak acuh, penuh curiga, sangat sensitif, berwatak keras, kreatif, semangat hidup tinggi, berani menanggung resiko, dan mandiri. Lebih lanjut dijelaskan indikator anak jalanan antara lain:
a.       Usia berkisar anata 6 sampai dengan 18 tahun
b.      Intensitas hubungan dengan keluarga
c.       Waktu yang dihabiskan di jalanan lebih dari 4 jam setiap hari
d.      Tempat tinggal
e.       Tempat anak jalanan sering dijumpai: pasar, terminal bus, stasiun kereta api, taman-taman kota, daerah lokalisasi PSK, permpatan jalan atau jalan raya, pusat perbelanjaan atau mall, kendaraan umum (pengamen), tempat pembuangan sampah.
f.        Aktifitas anak jalanan: menyemir sepatu, mengasong, menjadi calo, menjajakan koran atau majalah, mengelap mobil, mencuci kendaraan, menjadi pemulung, pengamen, menjadi kuli angkut, menyewakan payung, menjadi penghubung atau penjual jasa.
g.       Sumber dana dalam melakukan kegiatan: modal sendiri, modal kelompok, modal majikan/patron, stimulan/bantuan.
h.       Permasalahan: korban eksploitasi seks, rawan kecelakaan lalu lintas, ditangkap petugas, konflik dengan anak lain, terlibat tindakan kriminal, ditolak masyarakat lingkungannya.
i.         Kebutuhan anak jalanan: aman dalam keluarga, kasih sayang, bantuan usaha, pendidikan bimbingan ketrampilan, gizi dan kesehatan, hubungan harmonis dengan orangtua, keluarga dan masyarakat.
3. Kategori Anak Jalanan
Anak jalanan yang turun yang ke jalan mempunyai latar belakang yang berbeda-beda dari anak yang satu dengan yang lainnya. Sehingga anak jalanan yang ada di jalan tersebut tidak bisa disamakan begitu saja. Akan tetapi yang jelas kehidupan mereka akan berbeda jika dibandingkan dengan kehidupan anak biasa yang tidak menjadi anak jalanan. Oleh karena itu anak jalanan tersebut dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori.
Menurut Tjoemi S. Soemiarti (2004: 197), anak jalanan merupakan bagian kehidupan anak yang memiliki ciri-ciri khusus dan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu
a.       Kelompok high risk to be street children yaitu anak jalan yang masih tinggal dengan orang tua, beberapa jam di jalanan kemudian kembali ke rumah.
b.      Kelompok children on the street yaitu mereka melakukan aktivitas ekonomi di jalanan dari pagi hingga sore hari. Dorongan ke jalan disebabkan oleh keharusan membantu orang tua atau untuk pemenuhan kebutuhan sendiri.
c.       Kelompok children of the street yaitu mereka telah terputus dengan keluarga bahkan tidak lagi mengetahui keberadaan keluarganya. Hidup di jalanan selama 24 jam, menggunakan fasilitas mobilitas yang ada di jalanan secara gratis.
Pengelompokan anak jalanan di atas menitikberatkan pada hubungan anak jalanan dengan keluarganya, dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok yaitu anak yang masih tinggal dengan orang tua, anak jalanan yang menjadi urban ke kota dan jarang pulang dan anak jalanan yang sudah terputus dengan keluarganya.
Pendapat lain dikemukakan oleh Tata Sudrajat (1996: 154), pada umumnya ada tiga tingkat yang menyebabkan munculnya fenomena anak jalanan, yakni :
a.    Tingkat mikro (immediate causes) yaitu faktor-faktor yang berhubungan dengan situasi anak dalam keluarga
b.    Tingkat miso (underlying causes) yaitu faktor-faktor yang ada di masyarakat tempat anak dan keluarga berada
c.    Tingkat makro (basic causes) yaitu faktor-faktor yang berhubungan dengan struktur makro dari masyarakat seperti ekonomi, politik dan kebudayaan.
Dari uraian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa anak jalanan dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu anak jalana yang seluruh waktu dan hidupnya berada di jalanan, anak jalanan yang tempat tinggalnya di kota dan masih ada hubungan dengan keluarga, dan anak jalanan yang menjadi urban di kota yang ada hubungan dengan keluarga.
4. Permasalahan Anak Jalanan
Secara mental anak-anak jalanan tidak punya harapan hidup masa depan, bagi mereka bisa bertahan hidup saja sudah cukup. Kehidupan mereka harus berhadapan dengan realita di jalan yang penuh dengan resiko dan tantangan. Anak jalanan sering dicap sebagai anak nakal, biang kerusuhan, biang onar dan pernyataan-pernyataan miring lainnya. Perkataan-perkataan itu tentunya akan membawa dampak psikis bagi anak. Selain masalah pribadi sehari-hari di jalanan, perkawanan dan pekerjaan, anak jalanan secara langsung menerima pengaruh lingkungan dari keluarga maupun jalanan tempat ia berada. Adapun resiko yang dihadapi anak jalanan antara lain :
a.    Korban eksploitasi seks ataupun ekonomi
b.    Penyiksaan fisik
c.    Kecelakaan lalu lintas
d.    Ditangkap polisi
e.    Korban kejahatan dan penggunaan obat
f.      Konflik dengan anak-anak lain
g.    Terlibat dalam tindakan pelanggaran hukum baik sengaja maupun tidak sengaja
Permasalahan anak jalanan merupakan salah satu kendala Kota Surakarta sebagai kota budaya. Upaya pemerintah kota Surakarta belum dapat menyelesaikan permasalahan anak jalanan tersebut dengan baik, terbukti sampai sekarang belum diterbitkan Peraturan Daerah yang mengatur tentang kesejahteraan anak jalanan. Keluarnya UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, membawa konsekuensi kepada Pemerintah Indonesia untuk melakukan seluruh ketentuan tentang hak anak yang terdapat dalam konvensi PBB tanggal 20 November 1989.
5. Konsep Pemberdayaan Keluarga
Keluarga adalah sejumlah orang yang bertempat tinggal dalam satu atap rumah dan diikat oleh tali pernikahan yang satu dengan lainnya memiliki saling ketergantungan. Secara umum keluarga memiliki fungsi (a) reproduksi, (b) sosialisasi, (c) edukasi, (d) rekreasi, (e) afeksi, dan (f) proteksi.
Pemberdayaan (empowerment) adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayan Barat utamanya Eropa. Secara umum pemberdayaan keluarga dipahami sebagai usaha menciptakan  gabungan dari aspek kekuasaan distributif maupun generatif sehingga keluarga memiliki kemampuan untuk melaksanakan fungsi-fungsinya.
6. Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Paradigma  Pembangunan
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “People Centered, participatory, empowering and sustainable” (Chamber, 1995, dalam Ahmad Mahmudi, 2002).
7. Konsep Kecakapan Hidup
Banyak pendapat dan literatur yang mengemukakan bahwa pengertian kecakapan hidup bukan sekedar keterampilan untuk bekerja (vokasional) tetapi memiliki makna yang lebih luas. WHO mendefinisikan bahwa kecakapan hidup sebagai keterampilan atau kemampuan untuk dapat beradaptasi dan berperilaku positif, yang memungkinkan seseorang mampu menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan dalam kehidupan secara lebih efektif. Kecakapan hidup mencakup lima jenis, yaitu: (1) kecakapan mengenal diri, (2) kecakapan berpikir, (3) kecakapan sosial, (4) kecakapan akademik, dan (5) kecakapan kejuruan.
Barrie Hopson dan Scally mengemukakan bahwa kecakapan hidup merupakan pengembangan diri untuk bertahan hidup, tumbuh, dan berkembang, memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan berhubungan baik secara individu, kelompok maupun melalui sistem dalam menghadapi situasi tertentu. Pengertian kecakapan hidup tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu (vocational job), namun juga memiliki kemampuan dasar pendukung secara fungsional seperti: membaca, menulis, dan berhitung, merumuskan dan memecahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja dalam kelompok, dan menggunakan teknologi.
Dari pengertian di atas, dapat diartikan bahwa pendidikan kecakapan hidup merupakan kecakapan-kecakapan yang secara praksis dapat membekali peserta didik dalam mengatasi berbagai macam persoalan hidup dan kehidupan. Kecakapan itu menyangkut aspek pengetahuan, sikap yang didalamnya termasuk fisik dan mental, serta kecakapan kejuruan yang berkaitan dengan pengembangan akhlak peserta didik sehingga mampu menghadapi tuntutan dan tantangan hidup dalam kehidupan. Pendidikan kecakapan hidup dapat dilakukan melalui kegiatan intra/ekstrakurikuler untuk mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan karakteristik, emosional, dan spiritual dalam prospek pengembangan diri, yang materinya menyatu pada sejumlah mata pelajaran yang ada. Penentuan isi dan bahan pelajaran kecakapan hidup dikaitkan dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan agar peserta didik mengenal dan memiliki bekal dalam menjalankan kehidupan dikemudian hari. Isi dan bahan pelajaran tersebut menyatu dalam mata pelajaran yang terintegrasi sehingga secara struktur tidak berdiri sendiri.
Menurut konsepnya, kecakapan hidup dapat dibagi menjadi dua jenis utama, yaitu:
a) Kecakapan hidup generik (generic life skill/GLS), dan
b) Kecakapan hidup spesifik (specific life skill/SLS).
Menurut konsep di atas, kecakapan hidup adalah kemampuan dan keberanian untuk menghadapi problema kehidupan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari dan menemukan solusi untuk mengatasinya. Pendidikan berorientasi kecakapan hidup bagi peserta didik adalah sebagai bekal dalam menghadapi dan memecahkan problema hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi yang mandiri, warga masyarakat, maupun sebagai warga negara. Apabila hal ini dapat dicapai, maka ketergantungan terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan, yang berakibat pada meningkatnya angka pengangguran, dapat diturunkan, yang berarti produktivitas nasional akan meningkat secara bertahap. (Depdiknas, 2009:4)
Konsep kecakapan hidup sebagaimana telah dijelaskan di atas, dapat diilustrasikan sebagai berikut:








Bagan 1. Konsep Kecakapan Hidup
METODE PELAKSANAAN
Penelitian ini merupakan perpaduan antara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan, karena diawali dengan telaah bahan kepustakaan, undang-undang dan peraturan yang terkait dengan anak dan keluarga. Hasil telaah kepustakaan dijadikan sebagai kerangka pemikiran atau landasan teori dalam operasionalisasi penelitian ini.
Bentuk penelitian yang akan penulis pergunakan yaitu penelitian bersifat deskriptif kualitatif, dengan cara memberikan gambaran mengenai suatu kenyataan empiris dari obyek yang dijadikan penelitian.
Adapun penelitian yang bersifat deskriptif adalah menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan atau kelompok tertentu antara suatu gejala lain di masyarakat.
Sedangkan data yang digunakan bersifat kualitatif, karena tidak menggambarkan angka dan jumlah hasil pengukuran atau jumlah yang memiliki perbandingan. Data tersebut berupa keterangan, pendapat, konsep, atau tanggapan maupun respon yang berhubungan dengan obyek.
Data penelitian kualitatif bersifat kualitas dan bentuk verbal yakni berwujud kata-kata serta merupakan suatu penelitian yang menekankan pada masalah proses serta makna. Sehingga bentuk penelitian kualitatif yang baik adalah deskriptif kualitatif.
Dari penjelasan tersebut diatas maka dalam penelitian ini, menekankan permasalahannya pada proses dan makna yaitu mengenai Pemecahan Masalah Anak Jalanan Melalui Pemberdayaan Keluarga Berbasis Kecakapan Hidup di Kota Surakarta.
1. Variabel Penelitian
Variabel dari penelitian ini adalah masalah anak jalanan sebagai variabel yang dipengaruhi (terikat) dan pemberdayaan keluarga berbasis kecakapan hidup sebagai variabel yang mempengaruhi (bebas).
2. Populasi
Suharsimi Arikunto (1998: 102) mengatakan bahwa “Populasi adalah sejumlah penduduk atau individu yang paling sedikit mempunyai satu sifat yang sama”. Sedangkan Iqbal Hasan (2002: 58) mengatakan “Populasi adalah totalitas dari semua objek atau individu yang memiliki karakteristik tertentu, jelas, dan lengkap yang akan diteliti”. Dari beberapa definisi populasi di atas, dapat disimpulkan bahwa populasi adalah sejumlah individu yang diselidiki atau diteliti kemudian digeneralisasi dan paling sedikit memiliki satu sifat yang sama.
Populasi dalam pemelitian ini adalah LSM yang menangani masalah anak jalanan, Anak jalanan beserta keluarganya, dan Dinas Sosial Kota Surakarta.
3. Sampel
Menurut Ferguson (1967) yang dikutip oleh Consuelo (1993: 160) “Sampel  adalah beberapa bagian kecil atau cuplikan yang ditarik dari populasi”. Sedangkan menurul Iqbal Hasan (2002: 58) bahwa “Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu yang juga memiliki karakteristik tertentu, jelas dan lengkap yang dianggap bisa mewakili populasi”. Dari definisi sampel di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sampel adalah beberapa bagian kecil atau cuplikan dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu yang dianggap bisa mewakili populasi.
Sampel yang kita gunakan adalah LSM SEROJA, Anak jalanan beserta keluarganya di Kelurahan Petoran kecamatan Jebres Surakarta, dan Dinas Sosial Kota Surakarta.
4. Teknik Penarikan Sampel
Dalam penelitian ini menggunakan teknik “purposive sampling” yaitu memilih LSM yang menampung anak jalanan dan anak jalanan beserta keluarganya di beberapa tempat di kota Surakarta dan data Dinas Sosial Kota Surakarta.
5. Instrumen Penelitian
Data yang diperlukan dalam penelitian ini akan dikumpulkan melalui 3 cara yaitui: studi kepustakaan, pengamatan (observasi), dan wawancara. Langkah awal akan dilakukan dengan studi kepustakaan dengan mencari dan mengiventarisasi data-data sekunder yang terkait dengan fokus penelitian, yaitu masalah anak jalanan dan pemberdayaannya berbasis kecakapan hidup, kemudian langkah selanjutnya melakukan observasi dan wawancara untuk memperoleh data dari lapangan yang akan digunakan untuk menganalisis permasalahan yang ada.
6. Analisis Data
Analisis data di dalam suatu penelitian merupakan hal yang penting agar data-data yang sudah terkumpul dengan cara yang dapat dipertanggung jawabkan dapat menghasilkan jawaban dari permasalahan. Komponen penting dalam analisis data kualitatif dapat diuraikan sebagai berikut :
a)    Reduksi Data
Adalah bagian dari proses analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting dan mengatur data sedemikian rupa sehingga kesimpulan penelitian dapat dilakukan.
b)   Sajian Data
Adalah suatu rangkaian organisasi informasi yang memungkinkan kesimpulan penelitian dapat dilakukan.
c)    Penarikan Kesimpulan
Adalah gerakan pengulangan, penelusuran data kembali dengan cepat, sebagai akibat pikiran kedua yang timbul melintas pada peneliti pada waktu menulis dengan melihat kembali sebentar pada catatan lapangan.
JADWAL KEGIATAN
No
Jenis Kegiatan
Tahun 2010
Februari Maret April Mei Juni Juli
1. Penyusunan Proposal





2. Penyusunan Intrumen





3. Pengumpulan Data





4. Analisis Data





5. Penyusunan Laporan





Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian
HASIL PENELITIAN
A. Karakteristik Anak Jalanan di Kota Surakarta
Berdasarkan pengamatan penelitian yang dilakukan tentang anak jalanan di Surakarta, memperlihatkan betapa sangat memprihatinkan kondisi mereka. Keadaan anak pengamen jalanan tersebut perlu mendapatkan perhatian yang sangat serius dari pemerintah maupun masyarakat. Permasalahan mereka bukan hanya kemiskinan, tetapi juga pendidikan yang kurang dan kesejahteraan yang tidak merata di kota Surakarta ini. Selain itu jumlah merka tiap tahun semakin bertambah. Data tentang jumlah anak jalanan di Kota Surakarta dapat dilihat dalam tabedan diagram di bawah ini.
Tabel 2. Jumlah Anak Jalanan di Surakarta Menurut Dinas Tenaga Kerja, Transportasi dan Sosial Kota Surakarta.

Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009
Laki-laki 320 (59,8%) 528 (62,3%) 531 (55,7%)
Perempuan 215 (40,2%) 319 (37,7%) 423 (44,3%)
Jumlah 535 847 954
Apabila dilihat dengan grafik adalah sebagai berikut :
Text Box: Frekuensi
Bagan 2. Grafik Jumlah Anak Jalanan di Surakarta Menurut Dinas Tenaga Kerja, Transportasi dan Sosial Kota Surakarta
Tabel dan grafik tesebut memperlihatkan bahwa dari tahun 2007 sampai tahun 2009, jumlah anak jalanan di Surakarta semakin bertambah. Dari tahun 2007 terdapat 535 anak jalanan, pada tahun 2009 sudah melonjak tajam menjadi 954 anak jalanan. Hal tersebut dapat dipengaruhi berbagai faktor, terutama faktor ekonomi yang semakin sulit bagi anak jalanan beserta keluarganya. Biaya hidup yang semakin meningkat tidak bisa diimbangi dengan pendapatan yang mereka peroleh. Ditambah pekerjaan yang semakin sulit didapat di era globalisasi seperti saat ini. Sehingga jalan pintas yang terbaik bagi mereka adalah meminta belas kasihan orang lain dengan cara mengemis ataupun mengamen yang tidak memerlukan keahlian tertentu. Akan tetapi dengan meningkatnya jumlah anak jalanan, akan semakin marak kejahatan atau kriminalitas yang terjadi di jalan raya. Untuk itu peran pemerintah dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk membina anak jalanan dan keluarganya.
Tabel 3. Jumlah Anak Jalanan di Lingkungan Surakarta Bagian Utara Menurut LSM PPAP SEROJA.
Umur Tahun 2008 Tahun 2009
3,5 Th - 6 Th 5 (11,36%) 6 (10,71%)
7   Th - 14 Th 30 (68,18%) 35 (62,50%)
15 Th - 17 Th 9 (20,45%) 15 (26,79%)
Jumlah 44 56
Apabila dilihat dengan grafik adalah sebagai berikut:
Text Box: Frekuensi
Bagan 3. Grafik Jumlah Anak Jalanan di Surakarta Menurut LSM PPAP SEROJA
Dapat dilihat dari data diatas bahwa anak usia 7 tahun - 14 tahun yang mendominasi anak jalanan yang ada, selain itu dilihat dari jenis kelamin, anak laki-laki lebih mendominasi anak jalanan di Kota Surakarta. Sama halnya dengan data yang diperoleh dari Dinas Sosial, jumlah anak jalanan menurut LSM Seroja juga mengalami kenaikan dari tahun 2008 yang hanya 44 anak jalanan menjadi 56 anak jalanan di tahun 2009.
Dari berbagai sumber, seperti informan yang yang kami wawancarai yaitu anak jalanan sebagai sampel, maka ada beberapa hal yang mempengaruhi kondisi pertumbuhan dan perkambangan  para anak pengamen jalanan, yaitu:
1.    Faktor Kondisi Fisik
Sebagian besar kondisi anak jalanan sangat memprihatinkan, karena mereka kebanyakan kurus dan kurang terawat. Selain itu kulit mereka pucat dan hitam yang disebabkan terkena sinar matahari. Mereka bekerja di bawah teriknya sinar matahari yang menyengat tanpa penah mengeluh. Anak jalanan tersebut juga sering terkena asap kendaraan bermotor sehingga pernafasan mereka sering terganggu. Hal tersebut terjadi karena mereka bekerja di jalanan dan kebanyakan di dekat rambu-rambu lalu lintas. Pakaian mereka pun sudah tidak layak lagi. Ketika mereka kami tanya mengapa pakaianya sudah kusut dan kusam, mereka menjawab tidak punya lagi pakaian di rumah sehingga mereka bekerja apa adanya. Berdasakan umur maupun kondisi fisik, anak-anak di bawah umur menurut dinas ketenagakerjaan adalah tidak diperbolehkan bekerja. Mereka harus mendapat perhatian dan kasih sayang dari orang tua serta memperoleh pendidikan yang memadai.
2.    Faktor Keluarga
Keluarga merupakan tempat untuk tumbuh dan berkembang serta tempat perlindungan dan pencurahan hati seorang anak kepada orang tuanya. Keluarga merupakan tempat untuk mendapatkan kasih sayang orang tua. Tetapi pada kenyataanya anak-anak jalanan ini tidak mendapatkan sebagaimana yang didapat anak-anak lain dari orang tuanya. Mereka tidak memperoleh perhatian dan kasih sayang dari orang tua mereka. Bahkan mereka dipukuli oleh orang tua mereka jika tidak mengamen dan membawa hasil yang banyak. Akan tetapi ada juga anak jalanan yang rela mengamen untuk membantu perekonomian keluarganya tanpa ada paksaan dari orang tua. Hal ini membuktikan sebagian besar  kondisi keluarga mereka berada di bawah garis kemiskinan. Kebutuhan ekonomilah yang memaksa mereka untuk mengamen guna mencari sesuap nasi. Kebanyakan keluarga dari anak-anak pengamen jalanan ini mempunyai profesi yang sama. Artinya apabila seorang anak mengamen, maka pekerjaan orang tuanya adalah sebagai pengamen atau pengemis. Tetapi ada juga yang orang tuanya sebagai tukang becak atau pedagang kaki lima. Memang tidak dapat dapat dipungkiri lagi kondisi perekonomian keluarga yang kurang baik dapat mengakibatkan seorang anak putus sekolah, bahkan kebutuhan akan pangan, sandang, papan bisa dikatakan sangat kurang.
3.    Faktor Pendidikan
Kondisi anak jalanan pada umumnya tidak bersekolah, sehingga pendidikan yang mereka peroleh sangatlah kurang. Ada juga dari mereka pernah mendapatkan pendidikan, tetapi biasanya hanya sampai pendidikan Sekolah Dasar. Mereka putus sekolah karena orang tua mereka tidak mampu membiayai sekolah anaknya yang terasa mahal bagi mereka. Orang tua mereka beranggapan bahwa anak-anak mereka setidaknya harus pernah bersekolah, walaupun berhenti di tangah jalan. Sesungguhnya orang tua mereka ingin agar anak-anaknya dapat bersekolah, tapi mereka kebanyakan telah putus sekolah karena biaya sekolah dipergunakan untuk biaya sekolah adik-adiknya agar walaupun sebentar mereka dapat merasakan bangku sekolah. “Untuk makan saja sulit apalagi sekolah”, hal tersebutlah yang dikatakan salah satu dari anak jalanan tersebut.
4.    Faktor Lingkungan
Kondisi lingkungan anak jalanan berada di lingkungan yang kumuh. Sebagian besar dari anak pengamen jalanan tersebut bertempat tinggal di pinggiran kota yang kondisi lingkunganya sangat memprihatinkan. Misalnya di pinggir rel kereta api atau sungai yang besar. Mereka tinggal di sana karena daerah tersebut daerah yang aman dari penggusuran. Mereka mendirikan bangunan secara ilegal atau tanpa ijin dari pemerintah.
Masalah mendasar anak jalanan yang kini semakin menimbulkan kesenjangan sosial ditinjau dari segi pendidikan adalah kurangnya pendidikan anak jalanan. Anak jalanan juga mempunyai cita-cita yang tinggi seperti anak - anak seusia mereka, mereka ingin bekembang dan belajar agar suatu saat nanti tidak lagi menjadi pengamen atau pengemis lagi. Kebanyakan dari mereka pernah bersekolah tetapi putus karena masalah perekonomian keluarga yang kurang mencukupi.
Adapun cara atau usaha yang dapat dilakukan pemerintah maupun masyarakat untuk membantu para anak jalanan adalah sebagai berikut:
1.    Memberikan pendidikan atau pengarahan kepada para anak pengamen jalanan dalam bentuk yang sederhana. Misalnya mengajak anak-anak pengamen jalanan berkumpul di suatu tempat, kemudian di sana kita memberikan suatu ilmu pengetahuan yang nantinya bisa berguna bagi mereka.
2.    Mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini yang sedang berkembang. Yaitu pendidikan yang sesuai dengan perekonomian rakyat, tetapi tetap berkualitas, misalnya adalah memberikan biaya pendidikan khusus bagi mereka yang kurang mampu.
3.    Memberi pengertian dan penyuluhan kepada anak-anak pengamen jalanan tentang arti pentingnya pendidikan. Para dasarnya anak-anak pengamen jalanan tersebut mempunyai cita-cita, oleh karena itu untuk mencapai cita-cita tersebut adalah dengan bersekolah.
4.    Memberikan suatu gagasan atau ide kepada pihak sekolah untuk membuka kelas khusus atau kelas terbuka untuk mereka yang kurang mampu tetapi berprestasi. Biaya sekolah cukup terjangkau untuk masyarakat miskin, bobot materi lebih sederhana dan ringkas, biaya buku-buku bacaan gratis. Hal ini sudah pernah diterapkan di beberapa sekolah dan hasilnya cukup memuaskan.
5.    Salah satu contoh bentuk nyata partisipasi sekolah dalam membantu anak-anak yang mengalami kesulitan biaya adalah memberikan beasiswa. Beasiswa diberikan kepada mereka yang berprestasi, kurang mampu, dan lain sebagainya.
Selain itu bukan hanya anak jalanan saja yang diberi berbagai bekal hidup atau keterampilan, tetapi keluarga mereka (orang tua) juga harus diberi pengarahan dan keterampilan agar dapat memberdayakan diri dan keluarganya. Upaya tersebut tidak dapat berjalan dengan baik tanpa adanya dukungan dari semua lapisan masyarakat dan pemerintah. Dengan kerja sama yang baik antara masyarakat dengan pemerintah, maka kemiskinan dan kebodohan di Negara ini bisa diatasi.
Berdasarkan Visi kota Surakarta yaitu ‘Terwujudnya kota Surakarta sebagai kota budaya yang bertumpu pada potensi perdagangan, jasa, pendidikan, periwisata, dan olah raga’, maka bila dihubungkan dengan kondisi anak-anak pengamen jalanan saat ini adalah masalah pendidikan. Visi kota Surakarta tersebut dalam bidang pendidikan belum sepenuhnya tercapai, hal ini dibuktikan masih banyaknya anak usia sekolah yang sudah putus sekolah, misalnya masih banyaknya anak jalanan yang berkeliaran di jalanan pada jam-jam sekolah.
Sedangkan Misi kota Surakarta ada empat sasaran umum, yaitu:
1.    Revitalisasi kemitraan dan pertisipasi seluruh komponen masyarakat dalam semua bidang pembangunan, serta perekatan kehidupan masyarakat dengan komitmen cinta kota yang berlandaskan pada nilai-nilai ‘Surakarta Kota Budaya’.
2.    Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang memiliki kemampuan dalam penguasaan dan pendayagunaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni guna mewujudkan inovasi dan integrasi masyarakat madani yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.
3.    Mengembangkan seluruh kekuatan ekonomi daerah sebagai pemacu tumbuh dan berkembangnya ekonomi rakyat yang berdaya saing tinggi, serta mendayagunakan potensi pariwisata dan teknologi terapan yang ramah lingkungan.
4.    Membudayakan peran dan fungsi hukum, pelaksanaan Hak Asasi Manusia dan Demokratisasi bagi seluruh elemen masyarakat utamanya para penyelenggara pemerintahan.
Masalah yang terkait dengan anak jalanan adalah misi ketiga kota Surakarta, yaitu mengembangkan seluruh kekuatan ekonomi daerah sebagai pemacu tumbuh dan berkembangnya ekonomi rakyat yang berdaya saing tinggi, serta mendayagunakan potensi pariwisata dan teknologi terapan yang ramah lingkungan. Dalam hal ini pemerintah kota Surakarta belum maksimal dalam rangka meningkatkan perekonomian dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kaum miskin di kota Surakarta yang tidak mempunyai kecakapan hidup yang memadai, sehingga tidak bisa mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan visi dan misi kota Surakarta sampai saat ini belum semuanya dapat terwujud dengan baik. Pemerintah banyak mengalami berbagai hambatan dalam melaksanakan visi dan misi tersebut. Berdasarkan keterangan Pemerintah Daerah yang bersangkutan menyatakan masih ada bebeapa hambatan dalam membangun kota Surakarta sebagai kota budaya, diantaranya adalah:
1.    Kurangnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
2.    Semakin lemahnya sektor pariwisata sebagai aset utama kota Surakarta.
3.    Banyaknya konflik yang timbul dalam masyarakat kota Surakarta, yang mengakibatkan perpecahan dan kerusuhan.
4.    Sumber daya manusia yang kurang mampu memanfaatkan sumber daya alam secara maksimal.
5.    Kebudayaan dan kesenian kota Surakarta yang sudah tidak ada generasi penerusnya.
Dipandang dari sudut kebijakan Pemerintahan, Pemerintah Daerah Surakarta sudah mengeluarkan kebijakan dan peraturan mengenai permasalahan yang dihadapi anak-anak jalanan. Peraturan tersebut adalah Perda Nomor 16 Tahun 2003 yang memuat beberapa kebijakan penting dalam bidang pembangunan kota Surakarta. Contoh kebijakan dalam bidang sosial yang menyangkut permasalahan anak jalanan adalah:
1.    Peningkatan ketahanan sosial untuk penyelamatan dan pemberdayaan pada penyandang masalah kesejahteraan sosial dan korban bersama.
2.    Pengembangan iklim kondusif bagi generasi muda untuk wahana pembelajaran menjadi pemimpin bangsa di masa depan.
Dua hal tersebut diatas adalah upaya pemerintah daerah untuk mengentaskan kemiskinan dan kebodohan. Tetapi saat ini realita di lapangan belum menunjukkan peningkatan kesejahteraan dan pendidikan yang layak bagi para anak jalanan beserta keluarganya.
B. Pemberdayaan Keluarga Yang Berbasis Kecakapan Hidup Dalam Pemecahan Masalah Anak Jalanan Di Kota Surakarta
Semakin merebaknya anak-anak yang berkeliaran di jalanan di berbagai wilayah Surakarta sudah bukan merupakan hal yang biasa. Mereka biasanya mengamen atau mengemis kepada pengendara mobil atau sepeda motor yang melintas untuk mencari sesuap nasi guna bertahan hidup. Hal ini sangat memprihatinkan karena tidak seharusnya mereka berada di sana. Faktor utama mereka mengamen atau mengemis di jalanan adalah karena faktor keluarga. Mereka merupakan anggota masyarakat marginal yang terpinggirkan baik secara ekonomi, pendidikan, sosial, politik, budaya / peradaban bahkan moral khususnya kaum perempuan dan anak. Di lain pihak bahwa perempuan adalah tiang negara, pendidik dan pencetak generasi bangsa, sedangkan anak adalah generasi penerus bangsa yang mana di tangan merekalah nasib bangsa ini di masa mendatang. Sehingga akan sangat sulit sekali bagi bangsa ini, terutama bagi Kota Surakarta untuk berkembang apabila masih banyak anggota masyarakat yang masih terpinggirkan dalam berbagai bidang kehidupan.
Anak jalanan kita ketahui bersama bahwa mereka sangat sulit sekali untuk dientaskan, bukan karena tidak ada banyak dana yang turun, melainkan memang terlampau kompleksnya permasalahan yang ada di sekitar anak jalanan tersebut. Yang lebih mengerikan lagi adalah ketika banyak anak jalanan yang melalukan tindakan kriminal mulai dari mencopet, menjambret bahkan hingga melakukan pengaiayaan. Miris lagi ketika kenyataan anak jalanan yang ada sekarang ini, khususnya di Surakarta adalah kebanyakan anak di bawah umur 10 tahun.
Cara untuk menyelesaikan permasalahan anak jalanan ini adalah bukan dengan menakut-nakuti dengan ancaman dari SATPOL PP, namun cara yang paling baik adalah dengan melakukan pembinaan. Pembinaan itu dapat dengan berbagai macam cara dan salah satunya adalah dengan memberikan pendidikan kecakapan hidup (life skill). Harapannya, dengan diberikan pendidikan kecakapan hidup ini mereka akan dengan sadar melakukan usaha-usaha sesuai dengan keringat dan keahlian mereka. Hal tersebut diyakini sebagai usaha yang patut dihargai dan memiliki kehormatan yang lebih tinggi daripada hanya sekedar mengamen atau meminta-minta.
Pendampingan dapat dilakukan oleh seorang Pekerja Sosial dari LSM, Orsos, atau orang kiriman dari dinas sosial setempat dengan dana paling utama adalah disupport oleh pemerintah. Kemudian setelah anak jalanan selesai menjalani masa pelatihan life skill, tidak serta merta dilepas langsung, melainkan masih ada controlling hingga mereka benar-benar bisa menjadi mandiri dan keluar secara permanen dari jalanan.
Di Surakarta program pemberian kecakapan hidup untuk anak jalanan dan keluarganya sudah dilaksanakan oleh LSM Seroja sejak Agustus 2009, anak jalanan bisa mengenyam pendidikan anak usia dini (PAUD) di Sekolah Kita. Ini sebuah sekolah yang didirikan secara khusus untuk memberikan pendidikan gratis kepada anak jalanan di Solo. Sekolah itu berada di gedung sewaan berukuran 3×6 meter di Kampung Petoran, Kelurahan/ Kecamatan Jebres. Lembaga itu adalah muara dari sebuah perjuangan panjang tidak kenal lelah oleh para aktivis Yayasan Seroja.
Biaya operasional ditanggung bersama oleh para relawan di Yayasan Seroja. Awalnya, jumlah peserta didik belum terlalu banyak. Seiring dengan perjalanan waktu, upaya yang dilakukan para relawan Seroja itu berbuah simpati. Termasuk dari pemerintah daerah dan pusat, hingga akhirnya bisa diwujudkan menjadi sebuah sekolah. Menteri Sosial RI Salim Segaf Al-Jufri pun meresmikannya pada akhir 2009. Saat ini, ada 20 anak jalanan yang menimba ilmu di Sekolah Kita. Mereka terbagi dalam tiga kelas, yakni PAUD untuk anak usia taman kanak-kanak, kelas A untuk usia sekolah dasar, dan kelas B bagi anak usia SMP dan SMA.
Karena peserta didik masih tetap harus mencari nafkah sendiri, kegiatan belajar-mengajar hanya dilakukan tiga kali dalam seminggu. Yakni, Senin, Rabu, dan Jumat pukul 08.30 WIB - 12.00 WIB. Pelajaran yang diberikan cukup beragam. Mulai dari membaca, menulis, berhitung, hingga beragam keterampilan. Karena sasarannya agar anak didik bisa mandiri, persentase pendidikan yang diberikan lebih didominasi keterampilan, yakni 80% keterampilan dan 20% akademik. Jika dibandingkan dengan dulu, kondisi saat ini jauh lebih baik. Kegiatan belajar sudah bisa dilakukan di sebuah tempat khusus, tidak lagi di pinggir jalan atau lapangan. Namun, fasilitas masih seadanya karena dukungan dana yang terbatas.
DCP_2308
Gambar Anak Jalanan yang Sedang Belajar di Sekolah Kita
Pihak LSM Seroja pun gencar memberikan sosialisasi kepada orangtua anak jalanan tentang pentingnya pendidikan. Sebab, yang paling utama adalah bagaimana merubah pikiran orangtua dan anak jalanan agar memiliki motivasi dan pemikiran jauh ke depan. Mencoba menumbuhkan pemikiran mereka untuk mau berpikir ke depan, agar meski orangtua mereka sebagai pengamen anaknya harus memiliki motivasi meraih pekerjaan lebih baik dari orang tuanya kini.
Tidak hanya sampai di situ, LSM Seroja tidak hanya membekali para anak jalanan pendidikan dan ketrampilan, akan tetapi keluarga mereka juga mendapatkan pelatihan kecakapan hidup. Dalam hal ini, Seroja memfokuskan memberikan pelatihan kepada ibu-ibu yang kesehariannya juga mengamen dan mengemis seperti halnya anak-anak mereka. Program pelatihan bagi para ibu adalah usaha laundry pakaian, koperasi simpan pinjam, pertemuan dan pengajian rutin.
Pengajian di Pasar Jebres
Gambar Ibu-Ibu yang Sedang Mengikuti Pelatihan dan Pengajian Rutin
Pemerintah Kota Solo tidak menutup mata terhadap persoalan yang dihadapi sekolah anak jalanan. Bantuan mulai diberikan, meski jumlahnya masih kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan. Tahun lalu LSM Seroja mendapatkan bantuan Rp 6 juta dari Pemkot Solo. Namun, bantuan itu langsung habis untuk membayar sewa gedung. Namun, saat peresmian, pemerintah pusat menyokong Rp 60 juta sehingga bisa untuk membiayai operasional.
Apa yang dilakukan Yayasan Seroja melalui Sekolah Kita adalah potret kecil aksi nyata kepedulian terhadap nasib anak jalanan di negeri ini. Perhatian yang jauh lebih besar dari pemerintah dan berbagai pihak tentu masih sangat diharapkan. Apalagi dari tahun ke tahun jumlah anak-anak yang terpaksa hidup di jalanan cenderung meningkat. Di Kota Solo saja, dari data yang dilansir Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Sebelas Maret, terdapat 1.200 anak jalanan pada tahun 2009. Dari jumlah tersebut, sebanyak 60% di antaranya tidak bisa mengenyam pendidikan atau terpaksa putus sekolah karena faktor ekonomi.
KESIMPULAN
Jumlah anak jalanan di Kota Surakarta dari tahun ke tahun semakin bertambah. Sebagian besar dari mereka sudah putus sekolah karena berbagai kendala terutama faktor ekonomi keluarga. Keseharian mereka di jalanan adalah mengamen atau mengemis di sekitar perempatan atau lampu merah. Bahkan tidak sedikit anak jalanan yang sering juga melakukan tindak kriminal seperti mencuri atau menjambret. Hal tersebut sangat ironis dan bertolak belakang apabila image Kota Surakarta adalah kota budaya. Anak-anak jalanan tersebut berasal dari masyarakat marginal yang terpinggirkan baik secara ekonomi, pendidikan, sosial, politik, budaya / peradaban bahkan moral. Mereka dan keluarganya biasa tinggal di pinggir rel kereta api atau di pinggir sungai yang jauh dari area penggusuran.
Permasalahan anak jalanan dapat diatasi salah satunya adalah dengan pemberdayaan keluarga memalui kecakapan hidup. Anak jalanan diberikan pengarahan dan ketrampilan khusus agar suatu saat nanti mereka bisa mencari nafkah dengan ketrmpilan yang dimilikinya itu tanpa harus mengamen, mengemis, atau melakukan tindak kriminalitas. Hal tersebut yang telah dilaksanakan oleh LSM Seroja sebagai salah satu lembaga yang memperhatikan nasib anak jalanan beserta keluarganya di Kota Surakarta.

Hope

Posted under Cerita Peneliti by rosis on Sunday 11 April 2010 at 2:29 pm
Untuk saat ini UNS Blogfast 1.0 hanya diperkenalakan untuk mahasiswa yang lolos PKM Dikti.
Oleh karena itu diharapkan kedepan dapat juga diperkenalkan kepada seluruh mahasiswa UNS secara keseluruhan.
Sehingga tidak hanya mahasiswa yang memenangkan PKM DIKTI saja yang dapat berpartisisasi dalam mengenalkan UNS pada dunia luar melalui dunia maya.

Harapan buat UNS Blogfast 1.0

Posted under Uncategorized by rosis on Sunday 11 April 2010 at 2:15 pm
Untuk saat ini UNS Blogfast 1.0 hanya diperkenalakan untuk mahasiswa yang lolos PKM Dikti.
Oleh karena itu diharapkan kedepan dapat juga diperkenalkan kepada seluruh mahasiswa UNS secara keseluruhan.
Sehingga tidak hanya mahasiswa yang memenangkan PKM DIKTI saja yang dapat berpartisisasi dalam mengenalkan UNS pada dunia luar melalui dunia maya.

Hello world!

Posted under Uncategorized by rosis on Sunday 11 April 2010 at 1:33 pm
Welcome to UNS Social Network ™.
Terima Kasih telah menggunakan blog staff UNS. Selamat menggunakan blog. Untuk Kesulitan silahkan ym dengan admin YM : w4ww4n , you_dhi_aks, dan hendri_des
Atau kunjungi blog admin
Admin 1 :Ardian M. Prastiawan
Admin 2 :Sri Wahyudi (FMIPA)
Admin 3 :Hendri Desitwanto (FKIP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar